Thursday 15 December 2011

Maafkan Aku, Ibu...

    Ini kisah sedih yang mengiris hati saat aku mencoba mengungkapkan kepedihan seorang Ibu, harapku semoga kalian terinspirasi oleh cerita ini, meskipun cerita ke-2 ku ini belumlah sempurna, terima kasih.
  "Selamat pagi nak...sarapan dulu sini, Ibu sudah menyiapkan bubur ayam kesukaanmu nak,,," sapa Ibu Ratna, namun bukan jawaban halus yang ia terima dari anak semata wayangnya, malah cacian pagi yang
menghiasai sinar matanya, "ahh....Wira terlambat lagi jadinya, mengapa Ibu tidak membangunkan Wira, Ibu tidak ingat ya kalau hari ini Wira ada rapat kerja dengan atasan?" Bentak Wira, ia langsung berangkat kerja tanpa berpamitan atau mencium tangan Ibunya, Bu Ratna bersedih menatap menu sarapan pagi yang ia tata rapi diatas meja. Berdoa kecil kepada yang diatas, Tuhan ampunilah anakku, mungkin ini memang salahku yang tidak membangunkannya, namun aku ingin menyiapkan hal special untuk pagi ini, semoga ia tidak dimarahi oleh atasannya." Bu Ratna kembali melanjutkan aktivitas sehari-harinya, menyulam topi, dan terkadang mencuci pakaian tetangga untuk mendapatkan tambahan biaya demi kehidupan sejari-hari. Bu Ratna merasa sangat kesepian sejak ditinggal pergi oleh suami tercintanya 2 tahun lalu, begitu juga yang dirasakan Wira, anak yang sangat dekat dengan ayahnya. Malam sunyi tak berbintang, pekat awan marah menyelimuti langit dan sesekali dihiasi cambukan petir, namun Wira belum juga pulang, Bu Ratna belum makan malam, ia masih menunggu anaknya agar dapat makan malam bersama, hingga pagi menjelang dan mentari bersenyum ria, Bu Ratna masih terlelap di tidurnya di meja makan, melihat Ibunya yang masih tertidur Wira membangunkannya dengan menyiramkan air, "Bangun!!!!!!" teriak Wira, Bu Ratna sangat terkejut, dia tidak menyangka dengan perbuatan anaknya, ''mengapa Ibu masih tidur?'' mana sarapan paginya, bentak Wira dengan nada keras, "iya nak, maaf Ibu ketiduran menunggumu kemarin malam" jawab Bu Ratna pelan. "Ah...banyak alasan, cepat, Wira mau berangkat kerja". Dengan wajah basah kuyup,Bu Ratna bergegas menyiapkan sarapan untuk anaknya, "Wahai Yang Maha Pengasih, ampunilah hamba yang terlambat bangun, hingga hamba terlambat untuk menyiapkan sarapan pagi untuk Wira, Tuhan berilah kekuatan pada Wira, tabahkanlah hatinya atas kepergiaan ayahnya tercinta" doa kecil Bu Ratna. Setiap hari dalam hati Bu Ratna selalu bahagia melihat anaknya yang sangat ia kasihi, meskipun anaknya selalu saja marah tanpa sebab padanya, keadaan rumah sangat sepi, tak ada barang berharga dan mewah yang menghiasi rumah itu, Bu Ratna menulis surat diwaktu luang, karena tidak ada yang bisa jadi teman ngobrolnya di rumah. Kini Bu Ratna telah menginjak usia 55 tahun, ia sudah tidak mampu lagi untuk mengambil semua pekerjaan rumah yang ia kerjakan sendiri, minggu depan Wira akan menikah, Bu Ratna berharap, menantunya nanti dapat membantunya untuk menyelesaikan tugas rumah dan dapat menjadi teman ngobrol, Suamiku tercinta, aku sangat bahagia,kini Wira telah menikah, dan aku akan segera menggendong cucu, untuk mengobati sepiku sejak kepergiaanmu disana. akhirnya Wira menikah dengan Sherly di bulan November, bagai merindukan bulan bagi Bu Ratna, bukan kebahagiaan dengan bertambahnya satu anggota keluarga, namun penderitaan yang selalu menghiasi hari-harinya, serasa menjadi budak menantunya, Wira tidak pernah memperhatikan kesehatan Ibunya, ia hanya peduli dengan istri yang sangat ia cintai, namun tidak dengan Sherly, isitri tercinta Wira, ia adalah gadis metropolitan Jakarta, Sherly tidak sanggup hidup serba kekurangan dirumah tersebut, dia lebih suka pulang malam sendirian dang menghabiskan uang belanja suaminya untuk hura-hura. ''Dari mana kamu Sherly?? Mengapa jam segini baru pulang? Wira menunggumu dari tadi, Siapa lelaki itu?" tanya Bu Ratna, dengan wajah yang sangar Sherly menjawab, "ibu tua, jangan pernah ikut campur urusan gue, klo emang loe sayang sama anak loe, suruh Wira kerja yang lebih baik, gue sudah bosan hidup menderita dirumah ini, sudah sana gue mau tidur dulu".Bu Ratna menunduk lesu berjalan kekamarnya, ia menangis sedih melihat kelakuan menantunya dan ucapannya yang sangat tidak terpuji, 
Tuhan, Engkau Maha Pengasih dan Penyayang, ampunilah menantuku yang khilap akan ucapannya, mungkin ia terpengaruh minuman keras yang merusak pikiranya, Tuhan,Engkau yang murah rejeki, anugerahkanlah anaku kesehatan,agar ia senantiasa dapat bekerja dengan baik". Tanpa sengaja tadi Wira mendengar percakapan Sherly dengan Bu Ratna, Ia sangat marah dengan perkataan istrinya, namun ia malah pergi dan memarahi Ibumya, "Ibu jangan lagi menggangu Sherly, biarkan kami hidup bahagia" Wira membentak Ibunya untuk kesekian kali. Perih, luka hati dan perasaan yang sangat sedih menenggelamkan Bu Ratna ke dalam perasaan sakit yang tak terhingga, ia merasa tak pernah dikasihani oleh anaknya tercinta. Keesokan harinya, Minggu 25 Desember, Wira tidak berangkat kerja, ia merasa aneh, tidak ada sarapan di meja makan, istrinya juga belum bangun, Wira marah mengambil air seember dan mencari Ibunya untuk membangunkannya, namun Bu Ratna tidak terbangun ia lemas tak berdaya, merasa takut Wira mengajaknya ke Rumah Sakit, setelah dirawat, dokter memberi diagnosa bahwa Bu Ratna terkena kanker otak yang sudah memasuki stadium empat, Wira jatuh kelantai,menangis mendengar penjelasan dokter, ini kali pertama Wira meneteskan air mata untuk Ibunya, dokter menyarankan untuk operasi, namun itu memerlukan biaya yang lumayan besar. Wira pulang kerumah untuk meminta bantuan pada istrinya untuk menjaga Ibunya, namun di tengah perjalanan pulang, Wira melihat Sherly sedang berada dalam mobil merah, Wira mengejar mobil itu dan memberhentikannya, "Sherly, mau kemana kamu? Ibu sedang sekarat dirumah sakit,"...Wira, itu urusan loe, gue uda enek tinggal dirumah kecil, gue ingin mencari kehidupan gue, makan toe cinta yang kau persembahkan dulu, aku minta cerai, Loe GUe END" pernyataan Sherly semakin membuat hancur hati Wira, Sherly kini telah pergi dengan lelaki lain, sedangakan sang Ibu terbaring lemah dirumah sakit, sampai dirumah, Wira duduk termenenung dikamar Ibunya, memandang foto Ibu dan ayahnya, air matanya menetes menatap wajah ayahnya, "Ayah, ibu mengidap penyakit kanker, dan aku tidak pernah tahu akan hal itu,ayah maafkan aku,yang tak bisa menjaga ibu, aku menyesal dengan apa yang telah aku lakukan, sejak kematianmu 2 tahun lalu, aku menjadi sangat liar, aku terlalu menyayangimu, hingga aku sangat terpukul kehilanganmu, maka dari itu aku sangat takut jika aku juga sangat menyayangi Ibu, dan aku takut kehilanggannya, takut Tuhan akan mengambilnya juga, Wira  menangis sejadi-jadinya menyesali perbuatannya, yang tidak pernah peduli dengan Ibunya selama ini, Ibu yang membutuhkannya sebagai motivasi hidup. Wira lebih dikejutkan lagi saat ia mulai membaca beberapa surat yang ditulis Ibunya tergeletak berserakan, surat untuk ayahnya yang sudah tenang disana, semua isi suratnya adalah doa untuk dirinyya sendiri kesehatan dan rejeki yang melimpah intuk Wira. Wira segera kembali kerumah sakit untuk minta maaf kepada ibunya, ingin menjaga dan merawat ibunya, sampai dirumah sakit ia tidak menemukan ibunya di kamar rawat inap, seorang perawat menghampirinya "Apakah bapak keluarga dari Ibu Ratna...." Iya benar suster, maaf, dimana Ibu saya sekarang? apakah operasinya berasil?" Wira memburu jawaban dari perawat tersebut, "Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun, nyawa ibu Anda sudah tidak tertolong, sebelum kami melalukan operasi" jelas perawat.
The End
Ibu aku memujamu tidaklah hanya hari ini
Ibu damai surga di tangan sucimu
Ibu belaian cinta kasih
adalah anugrahmu

No comments:

Post a Comment